SANG Maestro sastra Indonesia itu telah tiada. Jagad sastra tanah air kembali kehilangan sosok sastrawan hebat, Sapardi Djoko Damono.
Sapardi menghembuskan nafas terakhirnya di usia 80 tahun pada pukul 09.17 WIB, Minggu 19 Juli 2020 pagi.
Meskipun Sapardi telah tiada, Indonesia akan terus mengenangnya, sebagai salah satu putra terbaik bangsa dalam dunia sastra. Kenangan itu, jauh sebelum kepergiannya pada pagi minggu kemarin, sudah dituangkannya dalam puisi:
“Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri….”
Kepergian Sapardi pada pagi hari itu mengingatkan kita pada puisi yang diciptakan pada 1973. Dimana, pada pagi hari orang-orang akan menangis.
“Maka pada suatu pagi hari
ia ingin sekali menangis…”
Sapardi yang lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940. Dalam kariernya sebagai pujangga, hampir semua karya terbaiknya ditulis dari hal kesederhanaan. Tapi penuh makna dalam kehidupan.
Jauh sebelum kepergiannya, Guru Besar (Profesor) Universitas Indonesia ini sudah mengambarkan suatu rasa kehilangan isyarata kematian (yang) abadi bagi bangsa ini.
Berikut, 7 puisi yang mengambarkan isyarat kematian tersebut:
PADA SUATU HARI NANTI
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari
(1991)
PADA SUATU PAGI HARI
Maka pada suatu pagi hari
ia ingin sekali menangis
sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu.
Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa
berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur.
Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan
rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.
(1973)
YANG FANA ADALAH WAKTU
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
(1978)
HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu.
SAJAK TAFSIR
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah
tidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu
Tolong ciptakan makna bagiku
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
HATIKU SELEMBAR DAUN
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
Nanti dulu
biarkan aku sejenak terbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
GERIMIS JATUH
Gerimis jatuh kaudengar suara di pintu
Bayang-bayang angin berdiri di depanmu
Tak usah kauucapkan apa-apa; seribu kata
Menjelma malam, tak ada yang di sana
Tak usah; kata membeku,
Detik meruncing di ujung Sepi itu
Menggelincir jatuh
Waktu kaututup pintu.
Belum teduh dukamu.
Selamat jalan Sang Maestro. Karyapun akan selalu abadi meskipun kini kau tiada.[iranda novandi]
Respon (1)