halaman7.com – Aceh Tamiang: Kampung Tanjung Keramat dan Alur Nunang, Kecamatan Banda Mulia, Kabupaten Aceh Tamiang resmi ditetapkan sebagai pilot project pertama di Aceh. Bidang hukum lingkungan dengan membentengi mangrove sebagai pertahanan daratan terakhir.
Penetapan kedua kampung tersebut disahkan dengan penandatanganan Qanun Kampung. Tentang Pemanfaatan dan Perlindungan Kawasan Mangrove. Lewat Focus Group Discussion (FGD) LSM Kawasan Ekosistem Mangrove dan Pulau Sumatera (KEMPRa), Jumat 10 Desember 2021 di Aula Bappeda Aceh Tamiang.
Direktur Eksekutif KEMPRa, Izzudin Idris mengatakan, komitmen ini dilandasi dengan gundulnya ratusan hektare hutan mangrove di kedua kampung tersebut. Akibat maraknya perambahan.
Qanun kampung ini akan menjadi landasan pengelolaan mangrove berbasis desa. Dalam konteks pemanfaatan dan perlindungan serta pengelolaan hasil hutan bukan kayu.
Sehingga hutan mangrove di Aceh Tamiang tidak rentan di rusak prambah dan berubah fungsi menjadi perkebunan.
“Kami menjembatani dan memfasilitasi. Dalam hal penerapan dan kekhawatiran masyarakat akan rusaknya mangrove oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Reusam (Qanun) ini akan menjaga kelestarian hutan mangrove tanpa mengusik perekonomian masyarakat sekitar,” ungkap Izuddin.
Penandatanganan yang dilakukan Datok Penghulu kedua kampung tersebut. Disaksikan Ketua DPRK Aceh Tamiang, Suprianto dan Kepala Dinas Pangan, Kelautan dan Perikanan, Safuan serta sejumlah perwakilan masyarakat.
Solusi Tepat
Suprianto menilai komitmen yang dibangun dalam Qanun Kampung merupakan solusi tepat. Terkait kelestarian hutan mangrove yang selama ini berdampingan dengan perekonomian masyarakat.
“Hutan mangrove ini penting karena menjadi filter. Misalnya sampah kimia dari kapal yang setiap harinya melintas di laut. Baiknya kehidupan anak cucu kita nanti, tergantung prilaku kita hari ini,” ucapnya.
Sementara Kabid Ekonomi dan SDA Bappeda Aceh Tamiang, Azhar menambahkan, penandatanganan Qanun Kampung ini merupakan kerja keras semua pihak. Sudah direncanakan sejak beberapa tahun lalu.
Persoalan terberat katanya, tim harus mampu menyandingkan penegakan hukum dengan kepentingan hajat hidup orang banyak. Mangrove ini bukan persoalan biasa. Karena ada budaya dan prilaku masyarakat pesisir yang mencari nafkah di lahan ini.
Sementara Datok Penghulu Kampung Tanjung Keramat, Jafar mengatakan perambahan terjadi di zona inti mangrove seluas 318 hektare. Perambahan ini umumnya dilakukan para pemburu kayu arang yang datang dari berbagai daerah. Mayoritas pelaku diklaimnya berasal dari luar Kecamatan Bandamulia.
“Statusnya hutan lindung, bisa dibilang sudah gundul karena dirambah. Orang itu datang naik perahu, kalau nebangnya ya pakai chainsaw,” ujarnya.
Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi di Kampung Alurnunang yang merupakan tetangga Tanjungkeramat. Di sini, zona inti hutan mangrove seluas 130 hektare juga menjadi langganan para perambah.
“Posisi kami itu pantai, kalau tidak ada mangrove, bisa tenggelam kampung kami,” kata Datok Penghulu Kampung Alurnunang, Ramlan.[Antoedy]