halaman7.com – Banda Aceh: Bagi masyarakat di kawasan Jabodetabek, nama Gemuruh Alam, mungkin tak asing lagi. Ia terkenal sebagai pesuling bambu asal Gayo.
Gemuruh Alam, merupakan alumni SMP 1 Takengon, lulusan 1965. Ia secara tidak langsung, mulai besuling pas musim panen bersawah dengan meniup bebelen (batang padi telah dipanen dan dijadikan alat musik).
“Besuling dari Sekolah Rakyat (SR), umur 7-12 tahun. Cuma, besuling sebatas diri sendiri. Malu didengar orang,” ujar Gemuruh, Kamis 2 Mei 2022.
Saat SR, sambung bapak dari Desi Arita Wati, almarhumah Dewi Amalia, Murdian Putraga, dan Nurmala Sari itu, dia bersama teman-temannya, yaitu Arkian, Sastra (keponakan Umar Bah), Tami, Amir, dan Narsikin, membentuk group band, yang terkenal dengan nama “Bocah Band.”
Pada saat itu, di Takengon sudah ada group band senior. Ada Group Uril (salah satu anggotanya Thomas Tarigan) dan Sanggar Melodi dengan punggawanya Salam, Moeawiyah, Syarif Sabdin, dan Damsika.
“Pak Mahaga yang beli gitar. Saya megang gitar. Kami berband di Gentala. Waktu Abang Mursalan menikah, kami pengisi acara, berband. Saya bersama teman-teman Bocah Band jalan kaki dari Takengon menuju Kung Pegasing, tempat dilangsungnya pesta Abang Mursalan. Itu pertama kali kami ngisi. Biasa ngisi pesta pernikahan,” tutur alumnus SMA 1 Takengon (1968) tersebut.
Di sisi lain, kurun waktu 1950-an, Gemuruh kerap mengikuti didong jalu (didong yang dilombakan) antara Kemara dan Musara Bintang. Jadi, menurut Gemuruh, jiwa seninya sudah terpupuk sejak anak-anak. Tapi, sebatas buat diri sendiri.
“Sayangnya, group band tadi tidak berkembang karena sebatas kumpul-kumpul. Aktif sampai SD saja. SMP tidak aktif lagi karena fokus sekolah,” beber alumnus SR 4 Takengon (1962) ini.
Setamat SMA, Gemuruh merantau ke Jakarta, pada 1968. Bakat bersulingnya tetap ditekuninya di Jakarta. Meskipun sebatas buat diri sendiri.
“Tidak banyak yang tahu bahwa saya bisa besuling (meniup seruling),” ujarnya.
Bakatnya itu, mulai dikenal saat menemani LK Ara baca puisi di Taman Ismail Marzuki. Saat itu, LK Ara baca puisi, sedangkan Gemuruh mengiringnya lewat tiupan seruling.
“Saya dan LK Ara saat itu satu kantor, di Balai Pustaka. Pak LK Ara yang mengajak saya ke Taman Ismail Marzuki (TIM), bertemu dengan WR Rendra, dan Taufik Ismail,” beber suami Adiwani ini.
Belakangan, lanjut alumnus Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) itu, penyair nasional dari Gayo, Fikar W Eda juga ikut mengenalkannya bersuling dalam kegiatan kesenian Komunitas Rangkaian Bunga Kopi di berbagai tempat di Jabodetabek. Termasuk di gedung Parlemen (DPD/DPR/MPRI RI) di senayan.
INFO Terkait:
Bincang Kuliner
Kebolehan Gemuruh bersuling ini akan ditunjuknya dalam Bincang Kuliner Gayo Pusat Kajian Kebudayaan Gayo yang digelar secara daring melalui zoom meeting, Jumat 3 Juni 2022, malam, mulai pukul 19.30 WIB.
Menurut Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Gayo, Yusradi Usman al-Gayoni, Gemuruh Alam, mengapresiasi kegiatan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo.
“Saya mengikuti terus kegiatan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo dalam dua bulan ini. Ada perbincangan budaya, pendidikan, sejarah, seni, kopi, dan bahasa. Apresiasi. Sangat positif, informatif, dan bermanfaat bagi orang Gayo dan tanoh tembuni. Banyak pengetahuan baru yang didapatkan dari perbincangan ini,” kata Gemuruh sebagaimana disampaikan Yusradi.
Menurut Gemuruh, kegiatan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo ini sangat penting untuk menunjang kegiatan penelitian, kajian, diskusi, publikasi, dan diseminasi hasil penelitian tentang Gayo. Termasuk, bagaimana didorong bisa masuk kebijakan dan melakukan pendampingan di lapangan.
“Kita sebetulnya punya potensi, termasuk sumber daya manusia (SDM). Sayangnya, tidak terfasilitasi dan kurang terpublikasi. Melalui kegiatan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo, diharapkan bisa menguatkan fasilitasi SDM Gayo dan publikasi ilmiah tentang Gayo, bisa terjejak digital, sehingga ke depannya bisa memudahkan penelusur yang menelusuri tentang Gayo,” pungkas Gemuruh.[ril | andinova]