ROMANSA perdagangan rempah-rempah membuat orang kala itu mudah lupa tentang fakta. Sebenarnya sebagian besar pengiriman di Samudra Hindia di khususkan untuk kargo. Seperti beras, kayu keras, timah, bijih besi, kuda, tali, tekstil dan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Menurut Encyclopædia Britannica 2002: “Ferdinand Magellan terjun dalam ekspedisi laut untuk Spanyol pada 1519. Dari lima kapal di bawah komandonya, hanya satu, Victoria, yang kembali ke Spanyol, tapi penuh kemenangan, sarat dengan cengkih (dari Maluku).”
Ekspedisi pertama Belanda berlayar dari Amsterdam (April 1595) ke Hindia Timur (sekarang Indonesia). Konvoi lain Belanda berlayar pada 1598 dan kembali satu tahun kemudian dengan 600.000 pon rempah-rempah dan produk Hindia Timur lainnya.
Kongsi Perdagangan Hindia-Timur (VOC) menempa aliansi dengan produsen utama cengkih dan pala. Sementara Perusahaan Hindia Timur Britania (EIC) mengirimkan sejumlah besar rempah-rempah selama awal abad ke-17.
Pada 1602 Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) muncul dengan kewenangan Jenderal Perkebunan Belanda. Pada 1664 Perusahaan Hindia Timur Prancis didirikan oleh otorisasi negara di bawah Louis XIV. Negara-negara Eropa lainnya memberikan piagam kepada perusahaan-perusahaan Hindia Timur dengan berbagai keberhasilan.
Hal ini diikuti perjuangan dan penaklukan untuk mendapatkan keuntungan dan kontrol monopoli perdagangan rempah. Portugal, selama lebih dari 100 tahun adalah kekuatan dominan. Akhirnya menyerah terhadap kongsi perusahaan dan penaklukan Inggris dan Belanda, pada abad ke-19 kepentingan Inggris telah berakar kuat di India dan Ceylon (sekarang Sri Lanka), dan Belanda memegang kendali atas sebagian besar Hindia Timur (Nusantara atau Indonesia sekarang.
Memanasnya kompetisi perdagangan ini menyebabkan negara yang saling bersaing untuk beralih ke cara-cara militer untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Pada 1641, Maluku Portugis ditangkap Belanda. Setelah penangkapan Maluku ini Belanda melihat perkebunan terkonsentrasi pada cengkih dan pala.
Kemudian menggunakan Perjanjian Batavia (1652) Belanda berupaya untuk menghancurkan pohon cengkih dan pala di semua pulau-pulau lain untuk menjaga pasokan dan mengontrol pasar penting rempah-rempah.
Upaya ini mengganggu pola kuno perdagangan Nusantara dan bahkan menyebabkan depopulasi seluruh kepulauan, terutama Kepulauan Banda. Maluku di bawah Belanda pun menjadi pelabuhan masuk utama untuk perdagangan rempah-rempah, dan menurut Robin A. Donkin (2003).
Perdagangan antara orang Eropa di bagian Asia Selatan dan Timur yang berbeda sering kali lebih menguntungkan daripada memasok negara asal mereka. Pada 1530-an, Portugis mengirimkan lebih banyak cengkih, pala, dan fuli ke India dan Ormus daripada Portugal. Para pembeli di Ormus adalah para “pedagang Moor yang meneruskannya, melewati Persia, Arabia dan seluruh Asia sejauh Turki.”
Dari setidaknya abad ke-17, produk yang sama dibawa ke Benggala oleh Portugis dan Belanda. Pedagang Inggris melihat bahwa mereka hasil penjualan mereka “sangat baik melebihi perkiraan” di Surratt dan stasiun dagang India dan Persia lainnya. Belanda antara 1620 dan 1740 memasarkan sepertiga atau lebih dari rempah-rempah mereka, terutama cengkih, di Asia: Persia, Arabia, dan India.
Permintaan rempah Jepang dilayani Portugis dari Makau dan kemudian Belanda. Tetapi permintaan untuk cengkih dan rempah-rempah umumnya di awal abad ke-17 dikatakan menjadi relatif kecil dan akibatnya harga menjadi rendah.
Pemukiman Eropa di India
Pulau Pinang (sekarang bagian Malaysia), wilayah milik Inggris, didirikan sebagai pelabuhan lada pada 1786. Selama abad ke-18, wilayah Prancis di India ditangkap Inggris. Kemudian berpindah dengan agresif ke wilayah Belanda di Timur Jauh. Status Kongsi Perdagangan Hindia-Timur (VOC) Belanda melemah sebagai akibat dari berkembangnya pengaruh Inggris.
Pada 1585, kapal-kapal dari Hindia Barat tiba di Eropa dengan muatan “jahe Jamaika”, akar yang berasal dari India dan Tiongkok Selatan, yang menjadi bumbu Asia pertama yang tumbuh dengan sukses di Dunia Baru.
Pemahaman kolot bahwa tanaman dan pohon tidak tumbuh dengan bagus di luar tanah asal mereka ini tetap bertahan sampai pertengahan abad ke-18, karena perjuangan ahli-ahli botani terkemuka kala itu, seperti Georg Eberhard Rumpf (1627-1702). Namun teori Rumpf akhirnya didiskreditkan oleh serangkaian percobaan transplantasi sukses yang dilakukan di Eropa dan Semenanjung Malaya pada awal abad ke-18.
Inggris membangun pemukiman militer yang dibentengi, seperti Fort Cornwallis, di Pulau Pinang, untuk melindungi pelabuhan dagang mereka. Pada 1815, pengiriman pertama pala dari Sumatera telah tiba di Eropa. Selain itu, pulau-pulau di Hindia Barat, seperti Grenada, juga terlibat dalam perdagangan rempah-rempah.
Cendana dari Timor dan dupa Tibet memperoleh status sebagai komoditas berharga di Tiongkok selama awal abad ke-18. Asia Timur menunjukkan ketertarikan dalam produk cendana, yang digunakan untuk membuat gambar Buddha dan artefak berharga lainnya.
Pertengahan abad ke-19 lahirlah teknologi refrigerasi buatan. Rempah-rempah kala itu tidak hanya digunakan untuk bumbu makanan, seperti tujuan utamanya saat ini. Tapi, sebelum munculnya teknologi pendingin buatan, rempah-rempah juga digunakan untuk mengawetkan makanan serta menutupi rasa makanan yang mulai busuk. Munculnya teknologi baru ini mengakibatkan penurunan status keseluruhan konsumsi rempah-rempah dan perdagangannya.
INFO Terkait:
Pertukaran kebudayaan
Kuatnya agama Buddha dan agama Hindu dalam sejarah Asia Tenggara, termasuk Nusantara, dihubungkan dengan kegiatan ekonomi dan perdagangan rempah yang kuat di wilayah ini. Karena pelanggan perdagangan rempah mempercayakan dana besar yang nantinya akan digunakan untuk keuntungan ekonomi lokal dengan manajemen pemukiman, keahlian dan promosi kegiatan perdagangan.
Buddhisme khususnya, tumbuh bersama tumbuhnya perdagangan maritim. Mempromosikan mata uang, seni dan keaksaraan dalam sejarah Asia Tenggara. Kebesaran kemaharajaan bahari Srivijaya yang kala itu berpusat di Sumatera juga karena pengaruh perdagangan maritim. termasuk rute perdagangan rempah yang melewati Selat Sunda dan Selat Malaka.
Agama Islam juga menyebar ke seluruh Dunia Timur, mencapai Asia Tenggara maritim pada abad ke-10 lewat perdagangan ini. Pedagang Muslim memainkan peran penting dalam perdagangan rempah. Begitu pula misionaris Kristen, seperti Santo Fransiskus Xaverius, juga berperan penting dalam penyebaran agama Kristen di Dunia Timur.
Kristen kala itu bersaing dengan Islam untuk menjadi agama dominan di Kepulauan Maluku. Namun, penduduk asli “Kepulauan Rempah” tersebut menampung aspek dari kedua agama tersebut dengan mudah.
Permukiman kolonial Portugis melihat pedagang-pedagang seperti Vanika dari Gujarat, Chetti dari India Selatan, Suriah Kristen, Tionghoa dari provinsi Fujian, dan orang Arab dari Aden terlibat dalam perdagangan rempah-rempah.
Cerita-cerita epos, bahasa, dan adat budaya dipinjam oleh Asia Tenggara dari Hindustan, dan kemudian Tiongkok. Pengetahuan tentang bahasa Portugis menjadi penting bagi pedagang yang terlibat dalam perdagangan ini.
Pedagang Hindustan yang terlibat dalam perdagangan rempah-rempah membawa masakan India ke Asia Tenggara. Seperti Malaysia dan Indonesia masa kini, di mana campuran rempah-rempah dan kari menjadi populer.
Orang Eropa menikah dengan orang India, dan mempopulerkan keterampilan kuliner yang berharga, seperti kue, di India. Orang Portugis juga memperkenalkan cuka ke India, dan biarawan Fransiskan memproduksinya dari nira. Makanan India, menyesuaikan dengan lidah Eropa, menjadi terlihat di Inggris pada 1811 kala perusahaan-perusahaan eksklusif mulai memenuhi permintaan untuk selera baik bagi orang-orang yang penasaran maupun yang kembali dari India.[Aji Setiawan]