halaman7.com – Takengon: Pengembangan venue pacu kuda untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) Aceh-Sumut 2024, di Blang Bebangka, Kecematan Pegasing, Aceh Tengah, disinyalir merampas tanah warga setempat.
Tanpa ada kesepatakan, tanah warga yang terletak di areal lapangan pacuan kuda, Blang Bebangka ‘dirampas’ dengan cara meratakan tanah tersebut sebagai bagian perluasan areal venue pucu kuda untuk PON nanti.
Ada lima persil tanah yang diambil paksa Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah untuk perluasan venue Pacuan Kuda untuk PON Aceh-Sumut 2024. Ahli waris tanah tersebut, menyatakan belum ada ganti rugi dari Pemkab setempat.
Ke lima ahli waris pemilik tanah tersebut yakni, Aman Ahmad, Aman semedah, Aman Mursala, Inen Iyar dan Inen Ahsanah.
Juru bicara keluar ahli waris Abdel mengatakan, pihak ahli waris sudah menjelaskan detail persoalan kepada tim Satpol PP Aceh Tengah yang sedang melakukan pembebasan tanah yang rencananya akan dipakai untuk venue pacuan kuda, pada Rabu 28 Februari 2024.
Menurut Abdel, pada petugas, pihak ahli waris sudah menyampaikan sanggahan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini terjadi akibat mandeknya mediasi antara ahli waris dengan pihak Pemerintah Aceh Tengah.
“Tapi sekarang tiba-tiba sudah eksekusi sepihak begini. Dasar hukumnya apa,” tanya Abdel yang dialog dirinya dengan pihak Satpol PP Aceh Tengah sudah beredar di media sosial.
Menurut Abdel, pihaknya tidak ada ada niat untuk menghambat proses ini. Hanya saja, sebagai tim negosiator keluarga mengajak untuk duduk bersama.
“Hentikan dulu ini. Mohon hentikan dulu. Ini negara hukum. Apalagi ahli waris ini bukan keluarga pidana, teroris atau keluarga ilegal,” tukas Abdel.
Abdel meminta pemerintah setempat untuk memanggil ahli waris membahas masalah tersebut. “Kammi tak ada maksud untuk menghalang program pemerintah. Kita tetap dukung pembangunan venue itu. Tapi ganti rugi tetap mesti ada,” sebutnya.
Sementara salah satu ahli waris, dr Syarifuddin menyebutkan, pihaknya sebagai ahli waris punya landasan kuat dan punya bukti konret bahwa mereka adalah pihak penggaran lahan tersebut.
“Di atas tanah ini pada 1965 direncanakan akan dibangun proyek kertas. Tapi kemudian dibatalkan pembeliannya oleh pihak terkait,” ujar Syarifuddin sambil memperlihatkan dokumen lama milik keluarga.
Sejauh ini, halaman7.com, belum ada dapat konfirmasi terkait hal ini dari Pemkab Aceh Tengah atau pihak terkait lainnya.[andinova | red 01]