CERPEN Ramli Lahaping: Boneka Cantik

SEKIAN lama, Tania hanya duduk di dalam kamarnya, sambil menatap tetumbuhan di sisi luar jendela. Ia kebingungan meramu jalan cerita untuk merampungkan naskah novel pertamanya tentang seorang anak adopsi yang mencari orang tuanya.

Ia tak ingin menuliskan pemecahan masalah yang klise. Padahal, ia telah melewatkan batas waktu yang ia tetapkan sendiri untuk menyelesaikan naskah tersebut, yaitu sebelum usianya genap empat belas tahun, kemarin.

Sesaat kemudian, perhatiannya tertuju pada sebuah boneka putri cantik di sudut mejanya. Boneka itu merupakan pemberian almarhum ayahnya saat ia masih kecil. Dengan menatap boneka kesayangannya tersebut, ia seolah merasakan kehadiran sang ayah. Hingga pada akhirnya, ia akan kembali mendapatkan motivasi untuk terus menuliskan cintanya kepada sang ayah ke dalam cerita fiksinya, termasuk dalam novel yang ingin ia rampungkan kini.

Tania memang sangat mencintai ayahnya. Apalagi, ia tahu kalau sang ayah sangat mencintainya pula. Paling tidak, berdasarkan kenangan yang samar-samar di dalam kepalanya selepas ayahnya meninggal saat ia berusia tujuh tahun, ia tahu kalau sang ayah begitu memanjakannya di tengah ketiadaan ibunya yang meninggal saat ia berusia tiga tahun. Buktinya, boneka di mejanya merupakan hadiah yang hendak diberikan sang ayah kepadanya di hari ulang tahunnya yang kedelapan.

Namun sayang, kala itu, ayahnya tak sempat menyerahkan boneka itu kepadanya. Sang ayah meninggal sehari sebelum hari ulang tahunnya. Sang ayah meregang nyawa setelah tertabrak mobil saat menyeberang jalan, selepas membeli boneka tersebut di sebuah toko, sebagaimana cerita Ranti, seorang janda berusia kepala lima yang menjadi ibu angkatnya sedari dahulu. Karena itu pula, ia sangat mencintai boneka itu, sebagaimana ia mencintai sang ayah. Ia menganggap boneka itu adalah perlambangan cinta sang ayah kepadanya.

Atas cintanya yang besar kepada ayahnya, ia pun merasa senang dan bangga atas penyertaan nama sang ayah di belakang namanya. Terlebih, itu terjadi atas saran dan anjuran Ranti. Hingga akhirnya, nama resminya pada dokumen-dokumen formal menjadi “Tania Martiko Sarise”. Ia bahkan menjadikan nama itu sebagai namanya di dunia maya, juga nama penanya sebagai penulis. Ia yakin akan diberkati dengan nama lengkapnya tersebut.

Meski ayah dan ibunya telah tiada sejak ia masih kecil, Tania tidak tenggelam dalam kepiluan. Ia bisa menjalani kehidupannya seperti anak-anak yang lain. Dan keadaan itu terjadi tiada lain karena keberadaan Ranti. Ia mendapatkan kasih sayang dari Ranti yang memperlakukannya seperti anak kandung. Ia mendapatkan perhatian dan pemenuhan keperluan hidup dari hasil usaha rumah makan Ranti yang sangat mencukupi.

Baca Juga  PUISI KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus): Belum Sempat

Tania memang beruntung dibesarkan oleh Ranti yang perhatian dan tidak posesif. Ranti hanya memosisikan diri sebagai orang tua sambungnya, tanpa intensi untuk menghapuskan hubungannya dengan orang tua kandungnya yang telah mangkat. Ranti bahkan sukarela menceritakan perihal kehidupan almarhum ayah dan ibu kandungnya dahulu, sehingga ia bisa memahami masa lalunya dan tak terbelenggu rasa penasaran.

Belum lagi, ia merasa beruntung sebab Ranti adalah sosok yang memerdekakan. Ranti senantiasa memberinya kebebasan untuk menentukan jalan masa depannya sendiri. Ranti, sama sekali tak punya kehendak untuk menekankan apalagi memaksakan perihal cita-citanya.

“Sekarang, kau sudah besar, Nak. Kau semestinya memiliki target pencapaian di masa depanmu,” tutur Ranti, setahun yang lalu, selepas perayaan uang tahun Tania, kala mereka tengah bercengkerama di ruang keluarga. “Aku ini bukan ibu kandungmu. Aku merasa tak sepatutnya merecoki pilihan hidupmu. Karena itu, kau mesti memutuskannya sendiri, dan aku pasti mendukung.”

Tania pun mengangguk dengan perasaan tenteram. “Terima kasih, Bu.”

“Jadi, kalau aku boleh tahu, apa cita-citamu? Kau ingin jadi apa kelak?” selidik Ranti.

Karena malu-malu, Tania tersenyum sipu. Hingga akhirnya, ia berterus terang, “Aku ingin jadi seorang penulis, Bu.”

“Penulis apa?” ulik Ranti, tampak penasaran.

Tania lantas tersenyum segan. “Penulis fiksi, Bu.”

Ranti tampak terheran mengetahui cita-cita Tania yang terdengar tak lazim. “Memangnya, kenapa kau ingin menjadi seorang penulis fiksi?”

Perlahan-lahan, raut Tania berubah muram. “Aku ingin menulis cerita tentang almarhum ayah dan ibuku, sebagaimana cerita-cerita Ibu selama ini,” tuturnya, lantas tertunduk lesu. “Aku ingin mengabadikan kenanganku tentang kami.”

Seketika, Ranti tersenyum haru, kemudian merangkul Tania.

“Ibu tak keberatan kan kalau aku ingin jadi penulis?” tanya Tania.

Ranti pun tergelak gemas. “Tentu saja tidak, Nak. Itu adalah cita-cita yang baik. Dan aku yakin, di alam sana, almarhum ayah dan ibumu senang mengetahui niat muliamu.”

Akhirnya, atas dukungan dan sokongan Ranti, hasrat Tania untuk menjadi seorang penulis makin menggebu.

Dengan semangat yang membara untuk menjadi penulis, waktu demi waktu, Tania terus menuliskan cerita tentang kehidupannya dalam balutan fiksi, terutama kenangannya tentang ayahnya. Karena kegigihannya, kini, ia telah menerbitkan sejumlah cerpen di media massa nasional, entah media daring maupun media cetak. Ia bahkan mulai dikenal di kalangan penulis sebagai penulis muda yang produktif, meski ia belum menerbitkan satu buku pun.

Baca Juga  PUISI A.R Loebis: tentang HAJI

Sampai akhirnya, siang ini, di tengah perjuangannya merampungkan novel perdananya tentang almarhum ayahnya, tiba-tiba, ia tertarik untuk mengecek rekam jejaknya di internet. Ia ingin meninjau tingkat penerimaan dan popularitasnya sebagai penulis. Ia lalu akan mengumpulkan berkas cerpennya untuk ia arsipkan di akun media sosialnya. Ia hendak menunjukkan bahwa setelah sekian lama menulis cerpen, ia memang sudah pantas menulis novel.

Sesaat berselang, dengan maksud iseng tersebut, ia lantas menuliskan nama lengkapnya yang unik pada kolom pencarian internet di laptopnya. Dan akhirnya, ia menyaksikan cerpen-cerpennya yang telah dimuat di media daring atau yang telah dialihwahanakan dari media cetak. Ia lalu mengamatinya satu per satu, hingga ia merasa bangga atas pencapaiannya sendiri. Ia pun jadi makin bersemangat untuk menyelesaikan naskah novelnya.

Beberapa lama kemudian, pada bagian bawah hasil pencariannya, ia menemukan beberapa saran artikel berita yang memuat nama yang persis dengan nama ayahnya. Seketika pula, ia jadi penasaran dan memutuskan untuk membukanya satu per satu.

Sampai akhirnya, ia terkejut dan terenyuh setelah mengetahui bahwa berita-berita tersebut memuat informasi perihal seorang lelaki yang mati dengan cara yang mengenaskan. Sang lelaki yang tewas setelah dikeroyok massa karena kedapatan mencuri boneka di sebuah toko. Sang lelaki tiada lain adalah ayahnya, sebagaimana keterangan alamat kediaman mereka dahulu, juga berdasarkan beberapa berkas foto yang menampilkan wajah yang serupa dengan sang ayah.

Dengan kesimpulannya sendiri, Tania akhirnya menangis. Ia tak menduga bahwa ayahnya meninggal dengan cara yang tragis, sebagaimana bukti-bukti yang ia temukan di dunia maya. Ia pun tak menyangka bahwa Ranti telah merahasiakan kenyataan itu darinya sekian lama. Karena itu, dengan perasaan yang kacau, ia lekas keluar dari kamarnya dan menghampiri Ranti yang tengah menonton televisi di lantai bawah, di ruang keluarga.

“Ada apa, Nak?” tanya Ranti, setelah melihat Tania datang dengan kelopak mata yang basah.

Tangis Tania kembali pecah. Ia lantas duduk di samping Ranti, di atas sofa. “Apa yang sebenarnya terjadi pada ayahku, Bu?” tanyanya, dengan nada mendesak.

Ranti tampak heran. “Kan sudah aku ceritakan kepadamu, Nak.”

“Ibu jangan bohong lagi kepadaku,” sergah Tania. “Aku tahu yang sebenarnya terjadi. Aku tahu kalau ayahku meninggal bukan karena tertabrak mobil seperti yang Ibu ceritakan.”

Ranti terkejut. “Kenapa kau beranggapan begitu, Nak? Kau dapat cerita dari mana?”

Baca Juga  Korban Banjir Nurussalam dapat Bantuan Sembako

“Aku sudah tahu semuanya dari internet, Bu. Aku tahu kalau ayahku meninggal karena dikeroyok massa setelah ia mencuri boneka di sebuah toko,” terangnya, gusar, lantas bertanya menyelisik, “Kenapa Ibu tidak menceritakan kenyataan itu kepadaku sedari dahulu?”

Sontak, Ranti kelabakan. Ia lantas menangis, kemudian memeluk Tania. “Maafkan aku, Nak. Maafkanlah,” tuturnya, dengan maksud mengakui kebohongannya selama ini. Ia lalu mengurai pelukannya, kemudian menggenggam tangan Tania. “Selama ini, aku sengaja tidak menceritakan kebenaran itu kepadamu, sebab aku tak ingin kau larut dalam kesedihan dan kebencian atas tindakan orang-orang terhadap ayahmu. Aku melakukannya demi kebaikanmu, Nak.”

Mereka lalu kembali berpelukan sekian lama. Mereka seolah sama-sama ingin menenteramkan perasaan atas rahasia besar yang baru terkuak di antara mereka.

Sampai akhirnya, Tania menyeka air matanya dan menuntut keterangan yang sejelas-jelasnya, “Sekarang, aku mohon, Bu, terangkanlah apa yang sebenar-benarnya terjadi dengan ayahku.”

Ranti lantas mengembuskan napas yang panjang, seolah  menguatkan  hatinya untuk menguraikan rahasianya selama ini. “Cerita yang kau temukan di internet itu, memang benar adanya, Nak. Dahulu, seorang pegawai tokoh mendapati ayahmu telah mencuri dan membawa lari sebuah boneka, hingga ia diteriaki dan dihajar massa. Ia mencuri boneka itu untuk hadiah hari ulang tahunmu. Boneka itulah yang selama ini menjadi boneka kesayanganmu.”

Tiba-tiba, Tania didera kepiluan yang mendalam mengetahui kenyataan tersebut. “Apa Ibu menyaksikan kejadian itu?”

Ranti mengangguk dengan raut sayu. “Tentu, Nak, karena aku adalah pemilik toko tempat ayahmu mencuri boneka.”

Tania sontak terperanjat. Ia kembali menitihkan air mata dengan perasaan yang kacau.

Perlahan-lahan, Tania mulai membaca jalan cerita hidupnya sampai ia jadi anak angkat bagi Ranti. Sebuah jalan cerita yang dramatis, yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebagai seorang penulis fiksi yang tengah berupaya menyelesaikan naskah novel pertamanya.[]

Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi di sarubanglahaping.blogspot.com. Bisa dihubungi melalui Instagram @ramlilahaping.

Redaksi menerima karya sastra berupa puisi dan cerpen, dengan mengirimkan ke email: redaksi.halaman7@gmail.com dan melampirkan foto dan data diri.

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.