Catatan: Iranda Novandi
SEORANG laki-laki paruh baya itu menghempas badan. Peluh masih menetes di dahinya. Masih berseregam lengkap, dengan rompi oranye diliriknya harian lokal terbitan Aceh. Sempat dibolak baliknya lembaran koran yang mulai lusuh itu.
Saat itu, jam menunjukan sekira pukul 17.30 wib. Lelaki itu memesan mie goreng basah dan segelas teh manis dingin (es teh). Sesekali ia hela nafasnya, tanda kelelahan yang hebat.
“Lapar sekali Pak, saya mau makan dulu,” ujar lelaki yang duduk persis di depan ku disalah satu warung kopi ‘mie arang’ di perempatan jalan di kawasan Peunayong Banda Aceh, Sabtu 11 Juli 2020.
“Silahkan Pak,” ujar ku sambil melihat ruat wajahnya yang terlihat penuh peluh yang belum kering membasahi raut wajah yang dihiasi kumis tebal yang sebagian besar sudah berwarna putih.
Begitulah, sekilas sosok tukar parkir di salah satu kawasan di Peunayong yang baru saja ku kenal itu. Lelaki yang bernama Yusnin Arif (48 tahun), sehari-hari bergelut dengan sepeda motor dan mobil milik orang yang parkir di lapak yang menjadi area ia mengais rezeki.
Menjadi tukang parkir adalah tambatan hidupnya yang terakhir, Yusnin telah berusaha banyak peruntungan. Bukan saja di Banda Aceh, bahkan sampai ke Kekuyang, Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah dan Blangkejeren, Gayo Lues.
Di Kekuyang, ia hanya mampu menetap selama satu bulan. Karena, cuaca yang dingin ia harus hengkang dari dataran tinggi Gayo tersebut. Di Blangkejeren, ia sempat mencoba peruntungan selama 4 tahun untuk mencari nafkah dengan menarik becak mesin.
Karena tak bisa juga menyambung hidup, akhirnya bapak dari sepasang anak ini pun, akhirnya pulang kampung ke Tapaktuan, Aceh Selatan dan kembali mencoba mengadu nasib di ibukota Provinsi Aceh.
Di Banda Aceh, Yusnin muda mencoba mengawali perjuangan hidup sebagai pejual asongan (jual rokok keliling). Usaha yang dijalani inipun tak bertahan lama, lalu ia mencoba menjadi kernet labi-labi (sudaco) jurusan Pasar Aceh – Keutapang.
Menjadi kernet labi-labi juga tak bertahan lama, sebab, kian hari, labi-labi di Banda Aceh terus berkurang, dengan pesatnya pertumbuan ekonomi di Banda Aceh, dimana masyarakat lebih mau memiliki sepedamotor meski kredit, dibandingkan naik labi-labi.
Tak putus asa, Yusnin kembali mencoba menyewa becak mesin. Dengan becak TKW – istilah untuk becak mesin itu – ia terus mengais rezeki. Meskipun hasilnya tak bisa menghidupinya.
Pasalnya, hasil jerih payah Tarik becak tersebut hanya bisa untuk makan saat itu, selebihnya habis untuk sewa dan memperbaiki becak yang nyaris lebih sering rusak daripada bagusnya.
“Kalau sekarang becak enak, karena ditarik dengan sepeda motor,” ujarnya.
Akhirnya, usahanya dengan menarik becakpun terhenti, seiring dengan bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh.
“Saat gempa, saya persis di depan warung ini. Habis gempa saya langsung pulang, tak melihat bagaimana air laut menghancurkan daerah (Peunayong) ini,” ujar lelaki yang kini tinggal di Lam Baet, Aceh Besar.
Sehabis tsunami itulah, setelah kondisi Peunayong mulai normal, ia mencoba menjadi tukang parkir. Kini sudah 12 tahun menjadi tukang parkir dan Yusnin merasa, disinilah ia bisa bertahan hidup untuk menafkahi keluarganya.
Menjadi tukang parkir, ia bisa membawa rezeki ke rumah per harinya sekitar Rp60 ribu-Rp70 ribu. Dari lapak parkir perharinya ia bisa memperoleh penghasilan Rp120 ribu-Rp130 ribu. Namun, setiap hari juga ia harus setor ke Dinas Perhubungan Rp65 ribu.
“Sisanya itulah yang saya bawa pulang, untuk memenuhi kehidupan keluarga,” ujar Yusnin, sambil meneguk es teh manisnya yang telah dicampur dengan air putih itu.
Kini, beban berat masih terpikul di pudak Yusnin. Pasalnya, ia akan melangsungkan pesta pernikahan anaknya yang sulung. Putri pertamanya itu, kini sudah bisa mandiri, karena sudah bekerja di PAUD di daerah tempat tinggalnya. Putri sulungnya ini merupakan lulusan UIN Ar-Raniry Banda Aceh, jurusan PAI.
Yusnin merasa bersyukur, meskipun ia tak mampu, anaknya mendapat beasiswa Bidikmisi dari pemerintah selama kuliah di UIN hingga tamat. Sedangkan anak keduanya, laki-laki, saat ini masih sekolah tingkat SMA.
Satu lagi yang menjadi keingin besarnya, yakni mengirim uang untuk orang tua (ibu) di Tapaktuan. Anak kedua dari lima bersaudara ini, mengaku, sudah berniat mengirim uang ke ibunya walaupunn hanya Rp100 ribu-Rp200 ribu.
Sebenarnya, kisah Yusnin, kakak dan adik-adiknya bisa saja membantu ibu-ibunya di kampung. Apalagi adiknya paling bungsu, kini telah menjadi kepala sekolah di salah satu SD di Manggamat, Aceh Selatan.
Namun, hasratnya sebagai seorang anak yang ingin selalu bisa memberi perhatian dan sedikit berbagi kebahagiaan di Hari Raya Idul Adha pada ibu, membuatnya bertekad untuk bisa mengirim sedikit rezeki dari kucuran keringat yang selama ini diperasnya.
“Ayah sudah tak ada, kini hanya tingal ibu saja. Karenanya, bagaimanapun caranya, saya akan berusaha bisa mengirim uang untuk ibu lebaran ini,” ujar Yusnin sambil menambahkan, saat lebaran Idul Fitri lalu ia hanya mampu mengirimkan uang Rp100 ribu bagi sang ibu dari kerjaan tukang parkir yang geluti selama ini.
Tak terasa, jam sudah menunjukan pukul 18.15 wib, perbincangan hangat dan syarat makna bersama teman baru ku, mengatarkan waktu menuju senja. Kamipun bergegas bersiap kembali ke rumah masing-masing.
“Saya, selalu berusaha untuk bisa shalat magrib berjemaah di meunasah gampong,” ujarnya saat kami bersalaman untuk berpisah di sore itu di sudut “China Town” nya Aceh.
“Terimakasih, Pak Yusnin, atas pelajaran kehidupannya hari ini. Semoga bapak selalu sehat dan selalu mudah rezeki,” gumam ku lirih dalam hati.[]