Minyak dan Gas Aceh untuk Siapa?

Ilustrasi

Oleh: Usman Lamreung

PENEMUAN sumur minyak dan gas bumi (Migas) di lepas pantai utara Aceh berhembus lembut menerpa wajah masyarakat daerah ini. Hembusan angin penemuan Migas yang kabarnya terbesar di dunia ini.

Usman Lamreung

Satu sisi kabar gembira buat kita sebagai warga Aceh, disisi lain memang apa untungnya buat rakyat Aceh atas penemuan cadang migas lepas utara Aceh bila rakyat terus harus antri isi BBM. Gas pun harga melambung tingg sangat mahal dijual untuk rakyat Aceh.

Atau hanya kabar angin yang memberikan harapan palsu pada rakyat Aceh, karena ada atau tidak cadang minyak dan gas di Aceh. Rakyat hanya menghirup bau dan debu, selama ini dirasakan dan dinikmati.

Pertanyaannya adalah apakah penemuan minyak dan gas itu akan mensejahterakan rakyat Aceh? atau sebaliknya. Rakyat Aceh tetap saja miskin, terpuruk dan tak berdaya? Isi BBM saja harus antri apalagi menikmati gas dirumah-rumah dengan gratis?

Banyak contoh belahan negara dimana sumber kekayaan alam yang melimpah, bukannya menjadi berkah bagi rakyat, malahan menjadi paradox. Daerahnya kaya, tetapi rakyat hidup dalam keterbelakangan dan menderita.

Contoh lain yang bisa di lihat, adalah oknum pejabat daerah terlibat korupsi, dengan “menjual” kekayaan daerah dengan tidak membagi manfaat kepada rakyatnya. Ini yang disebut sebagai kutukan tambang.

Daerah-daerah seperti Sangasanga Kalimantan Timur (1980-an), Pulau Buru di Maluku (2011), Arun di Lhokseumawe (1990-an) adalah contoh terdekat. Dan, yang sedang terjadi didepan mata kita adalah Blok A (Medco) Aceh Timur (2018).

Proyek Blok A (Medco), yang mulai dikerjakan pada 2016 — mulai produksi pada 2018 — dinilai belum memberi kontribusi signifikan pada daerah dan masyarakatnya. Bahkan Kabupaten Aceh Timur dipastikan kehilangan potensi keuntungan dari kewenangan atas 10% penyertaan modal dari Blok A.

Baca Juga  Akademisi Unaya Ingatkan, Jangan Sampai Temuan Sumber Migas Baru Aceh, Rakyat Jadi Penonton

Ini disebabkan pemerintah kabupaten itu gagal menginvestasikan modalnya sesuai Permen ESDM No 37 tahun 2016 tentang ketentuan penawaran Participaty Interest 10% pada wilayah kerja minyak dan gas bumi.

Suatu daerah bisa maju dan memberi kontribusi berarti buat masyarakat bukan semata-mata dengan mengandalkan kekayaan alamnya. Namun juga dari inovasi dan kreativitas suatu daerah tersebut.

Hal ini dapat dilihat di Kecamatan Indra Makmur, Aceh Timur, dimana proyek pembangunan kilang gas Bok A yang mulai produksi 2018 hingga saat ini.

Hubungan perusahan dan rakyat sekitar tambang sering menimbulkan banyak masalah, yaitu kasus bau yang bocor sejak Mei 2019 hingga sekarang masih saja terjadi. Konflik masyarakat dengan perusahaan hingga saat ini tak kunjung selesai.

Pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar tambangpun bermasalah, perusahaan tidak memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hingga peluang-peluang usaha baru tidak tumbuh ataupun berkembang.

Minimnya kontribusi ekonomi dari operasional migas di Blok A kepada masyarakat lingkar tambang ketidaksiapan pemerintah daerah menghadapi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dalam wilayah Kabupaten Aceh Timur.

Sebagaimana diketahui, perusahaan migas pasti membutuhkan tenaga kerja yang memiliki ketrampilan, dan padat modal. Sementara kesempatan kerja di Aceh Timur mayoritas berada pada sektor perkebunan dan pertanian, terutama desa dalam wilayah kerja Blok A. Tentu sektor Migas tidak secara langsung memberikan peluang kerja bagi penduduk setempat.

SDM Profesional

Seharusnya pemerintah daerah sejak awal menyiapkan sumberdaya manusia yang andal dan profesional. Namun pemerintah daerah dengan kewenangan yang ada, luput menyiapkan regulasi tentang perlindungan dan pemberdayaan potensi-potensi lokal. Mengatur tentang keterlibatan kontraktor-kontraktor daerah Blok A dalam memberdayaan seluruh potensi-potensi lokal tersebut.

Sehingga, potensi-potensi lokal seperti naker, badan usaha gampong, pengusaha-pengusaha kecil, merasa ditinggalkan atau menjadi penonton sebagaimana kondisi saat ini.

Baca Juga  PB PENA Gelar Buka Puasa Bersama

Pemerintah Aceh, BPMA dan Pemerintah kabupaten/kota berkewajiban dari sekarang menyiapkan regulasi dan sumberdaya manusia yang handal dalam bidang Migas. Agar mereka masyarakat tidak menjadi penonton di daerahnya. Saat perusahaan tambang Migas membutuhkan tenaga kerja, namun rakyat Aceh tidak kebagian.

DPRA, Pemerintah Aceh, BPMA dan kabupatan/kota bersinergi menyiapkan ini. Dalam beberapa tahun ke depan sudah barang pasti perusahaan migas yang beroperasi di Aceh akan membutuhkan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja lokal. Sudah saatnya merumuskan regulasi bersama, agar rakyat Aceh bisa juga terlibat, tidak menonton, dan membuka lapangan kerja, salah satu solusi pengentasan kemiskinan.

Pertanyaan apa peran BPMA Aceh sekarang? apa yang sudah dilakukan? apa selama BPMA ada peluang kerja sebagai peningkatan pertumbuhan ekonomi rakyat Aceh?

Namanya, adalah Badan Pengelola Migas Aceh disingkat BPMA. Badan pemerintah dibentuk dan diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015. Peraturan ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pada Pasal 160 ayat (1) dan (2) UUPA.

Tercantum bahwa Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Aceh mengelola bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh dengan membentuk Badan Pengelola Migas Aceh.

Terlepas masih adanya perdebatan dan kelemahan dalam peraturan pemerintah tersebut. Namun apa yang sudah ditetapkan setidaknya harus benar-benar diimplementasikan yang diamanahkan PP tersebut kepada BPMA.

Adapun tugas dan fungsi BPMA sesuai tersebut dalam PP No. 23 Tahun 2015 pasal 13 adalah melakukan pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap kontrak kerja sama kegiatan usaha hulu. Agar pengambilan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi milik negara yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Baca Juga  38 Mahasiswa dan Korlap Kembalikan Dana Beasiswa

Dengan tugas dan kewenangan, sudah sepatutnya BPMA mampu menjalankan amanah tersebut dengan baik. Termasuk memberikan peluang kepada rakyat Aceh dengan membuka lapangan kerja, temasuk penguatan dana CSR peruntukan untuk kepentingan pengentasan kemiskinan masyarakat seputar tambang.

Jangan sampai mengulang pameo lama: buya krueng teudong-dong, buya tamong yang meuteumee raseuki (penduduk asli jadi pentonton, pendatang yang mengeruk keuntungan). Saatnya Aceh berubah.[halaman7.com]

Penulis, Akademisi Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh Besar.

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *